Saturday, April 19, 2014

Mas Bima, Polisi suami kakakku

AKU mengenal mas Bima hanya karena dia adalah suami dari kakak sepupuku
mbak Tika. Saat mereka menikah dua tahun lalu, aku sudah mengagumi mas
Bima yang polisi itu karena kegagahan dan ketampanannya. Tentu saja aku
hanya berani mengagumi karena diriku yang pemalu ini tak berani kenal
lebih dekat dengan mas Bima. Padahal aku dengan mbak Tika walaupun hanya
sepupu, dia sudah seperti kakakku sendiri yang memang anak tunggal ini.
Sayang, selepas menikahi mas Bima, mbak Tika harus ikut suaminya keluar
kota sehingga aku jarang bertemu dengannya. Paling-paling jika ada
keluarga yang menikah atau di hari raya, mbak Tika dan suaminya barulah
datang ke kotaku. Bodohnya, momen-momen itu tak kumanfaatkan untuk lebih
mengenal Mas Bima yang kukagumi.

Tak pernah akan kulupakan momen pertama mbak Tika mengenalkan mas Bima ke
keluargaku . Mbak Tika sudah menganggap kedua orangtuaku seperti
orangtuanya sendiri, itulah sebabnya, untuk menghormati mereka, Mbak Tika
seperti harus meminta pendapat dari papa dan mama mengenai calon suaminya.
Aku diam saja saat menjabat tangan Mas Bima yang tampak gagah dengan tubuh
tinggi atletisnya. Pasti dia menganggapku sombong karena tak mau menatap
wajahnya. Padahal bukan karena itu, aku sebenarnya malu dan tak ingin
terlihat tersipu.

Pernah suatu ketika, enam bulan setelah mereka menikah, kami semua
menghadiri pernikahan seorang sepupu. Lagi-lagi aku tidak memiliki
keberanian untuk mengobrol lebih lama. Malahan aku sengaja menghindar
karena tak ingin Mas Bima mendeteksi kegugupanku.

"Fin!" suara Mas Bima yang menepuk pundakku mengejutkanku yang sedang
duduk di pojok ruang resepsi. Dia kelihatan sangat tampan dengan batik
kehijauan yang membalut tubuhnya.

"Eh, Mas…" sahutku pelan. Tenggorokanku terasa kering sehingga aku harus
berdeham sedikit meredakan salah tingkahku.

"Kapan lulus, Fin?" tanya mas Bima sambil tersenyum. Dia menarik sebuah
kursi lipat dan duduk dekat di sebelahku.

"Aku baru kelas XI mas, sebentar lagi naik kelas XII" jawabku.

"Ooo… rokok?" tawar Mas Bima. Rupanya dia bosan bersama tamu-tamu lain dan
memilih untuk menghindar.

Aku menggeleng sambil tersenyum.

"Enggak ngerokok? ya sudah…" Mas Bima memasukkan kembali kotak rokoknya ke
saku baju dan batal merokok.

Aku tidak tahan berada dekat dengan Mas Bima selama ini. Aku bisa
merasakan wajahku memanas yang artinya sudah mulai memerah. Jantungku
berdegup dan sedari tadi kakiku bergerak-gerak tak nyaman berganti-ganti
posisi.

"Fin, mas mau…"

Ucapan Mas Bima terpotong karena tiba-tiba saja aku beranjak pergi tanpa
berkata apa-apa saat semakin menyadari wajahku semakin memanas. Aku
menutup wajah kesal, karena pasti mas Bima menganggapku benar-benar
membencinya. Aku yakin, Mas Bima pasti memandangku dengan heran.

***

Sudah hampir setahun sejak peristiwa itu. Mbak Tika tidak pernah lagi
datang, bahkan lebaran terakhir pun dia batal berkunjung ke rumahku karena
kandungannya bermasalah sehingga keguguran. Paling-paling sesekali kami
hanya saling berkomunikasi melalui situs jejaring sosial, yang diam-diam
aku manfaatkan juga untuk melihat-lihat foto mas Bima di akun milik Mbak
Tika. Aku tak punya keberanian menambahkan Mas Bima sebagai teman di
facebook. Selain karena sungkan, tampaknya dia tak pernah aktif
berinteraksi di situs itu walaupun sudah memiliki akun. Sepupuku sebentar
lagi menikah. Aku, Papa dan Mama sedang menuju rumah pamanku yang juga
rumah nenekku. Aku tidak berharap bertemu Mbak Tika dan Mas Bima di sana,
tapi yah.. aku salah. Ternyata mereka sudah lebih dulu ada di sana.

"Findraaaaaa.." pekik Mbak Tika sambil datang memelukku. Aku membiarkan
dirinya mengacak-acak rambutku yang sudah susah payah kutata dengan wax.

"Gak ketemu sebentar aja, makin cakep sama makin tinggi aja adik Mbak yang
satu ini!" ujarnya dengan nada seperti berbicara kepada anak usia tujuh
tahun.

"Wiii… udah berisi ya sekarang? makin keren deh…" kata Mbak Tika sambil
meremas-remas lengan atasku yang memang makin berotot sejak aku rutin
berolah raga di sekolah.

Aku melirik ke meja makan. Ada Mas Bima di sana, dia hanya tersenyum
menyaksikan tingkah istrinya. Dia makin tampan. Badannya juga makin kekar
berisi. Saat matanya beralih menatapku, cepat-cepat aku alihkan
pandanganku ke arah Mbak Tika.

Setelah basa-basi sebentar dengan Nenek dan keluargaku yang lain, aku
beranjak keluar mencari udara segar. Udara di sini sangat sejuk, berbeda
dengan kotaku yang panas dan berpolusi. Setelah duduk di tangga teras
rumah yang sedikit berlumut dan lembab, aku menarik nafas dalam-dalam
sambil memejamkan mata sehingga tak sadar saat aku membuka mataku, Mas
Bima sudah duduk di sebelah.

"Enak ya, di sini?" tanya Mas Bima sambil memandangi pucuk-pucuk pohon
besar di kejauhan.

Aku tak menjawab. Suara serangga malam yang bersahutan menjadi latar
keheningan di antara kami berdua.

"Aku ngerokok ya?" tanya Mas Bima. Kali ini dia tidak peduli kalau aku
tidak merokok. Dia menyalakan sebatang dan mengisapnya dalam-dalam.
Sebagian asapnya terpapar ke wajahku, namun aku diam saja.

"Maaf ya…" kata Mas Bima.

"Ke… kenapa minta maaf mas?" tanyaku heran.

"Mas bersalah udah ngambil mbak kamu cepat-cepat, padahal kamu kayaknya
masih membutuhkan figur kakak di masa-masa remaja kayak gini…" lanjut Mas
Bima.

"Eh… enggak gitu juga kali, mas.." elakku sambil tertawa getir.

"Mas berusaha cari tahu kenapa kamu bersikap dingin sama Mas… padahal aku
berusaha lebih dekat sama kamu. Jadi ya, mas berkesimpulan semua karena
mas menikahi Mbak kamu terlalu cepat," kata Mas Bima lagi sambil menatap
kosong lurus ke depan.

Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Sepertinya aku biarkan saja dia
berpikir demikian. Kemudian aku berusaha mencairkan suasana.

"Boleh minta rokoknya, mas?" tanyaku.

"Bukannya kamu gak ngerokok?" tanya Mas Bima balik. Tapi dia tetap
mengeluarkan kotak rokok dari saku kemejanya dan menawarkan padaku.

Aku menelan ludah. Walau sedikit ragu, kuberanikan diriku untuk mengambil
batang rokok yang sudah dinyalakan dari tangan Mas Bima. Mas Bima
terheran-heran, namun dia membiarkan aku mengambil rokoknya dan
mengisapnya dalam-dalam. Ah…. dadaku berdesir membayangkan diriku
berciuman dengan mas Bima saat bibirku menempel pada filter rokoknya yang
sebelumnya menempel di bibirnya.

Aku yang tak biasa merokok langsung terbatuk-batuk. Mas Bima tertawa, lalu
mengambil rokok itu dari tanganku dan membuangnya.

"Udah, gak usah sok tahu.. syukuri aja kamu gak ngerokok, Fin! Mas mau
berhenti aja susahnya minta ampun," kata Mas Bima.

Aku tersenyum malu.

"Damai?" tanya Mas Bima sambil mengulurkan tangannya.

Aku tak menjawab. Kujabat tangannya sambil tersenyum.

"Yuk, masuk!" ajak Mas Bima sambil bangkit dan beranjak ke pintu. Dan aku
pun mengikutinya.

****

"Wah! dua cowok ganteng kesayangan Mbak abis dari luar ternyata? Mbak mau
kasih tau, karena kamar di sini sudah penuh, Mbak tidur sama nenek ya?
papa sama mama kamu di kamar atas, jadi kamu terpaksa tidur sama Mas Bima
malam ini. Gapapa kan?" kata Mbak Tika sesaat setelah kami berdua muncul
di ruang keluarga.

Wajahku terasa memanas saat membayangkan harus seranjang dengan Mas Bima.
Cepat-cepat kukuasai keadaan dan bersikap biasa saja.

"Aku sih gak keberatan, asal Findra tahan sama suara ngorok aku," kata Mas
Bima sambil terkekeh.

"Cuma semalam aja kan? tahan lah.. aku pasang earphone denger musik aja…"
sahutku.

Mbak Tika tertawa.

"Sudah.. sudah.. sana tidur! udah lewat tengah malam. Besok pagi kan harus
siap-siap ke tempat resepsi!" usir Mbak Tika. Setelah kami semua
berpamitan, aku dan Mas Bima menuju kamar kami tepat di dekat ruang tamu.

Kami sama-sama tak berbicara saat masuk ke kamar. Di kamar itu hanya ada
satu ranjang kayu tua yang cukup besar.

"Mau tidur di sebelah mana?" tanya Mas Bima. Saat dia membuka kemejanya,
aku mengalihkan pandanganku.

"Aku dipojok mas, dekat jendela," usulku.

Mas Bima kini hanya mengenakan singlet dan celana training pendek. Aku
melirik ke arah selangkangannya, tampak samar tercetak penis yang tertutup
dibaliknya dengan ukuran yang lumayan.

Aku melepas kemeja dan celana panjangku sehingga tinggal menggunakan kaus
lengan buntung dan celana bokser saja.

Tanpa berlama-lama memandang Mas Bima, aku memanjat ke atas ranjang dan
menutup tubuhku dengan selimut kain. Aku membalik badanku menghadap
jendela membelakangi Mas Bima.

Mas Bima rupanya tak langsung naik ke ranjang. Dia menekan-nekan tombol
remote pendingin udara yang tampaknya tak berfungsi.

"Hufh! kok di dalam sini panas ya?" katanya.

"Mau kubuka jendelanya aja, Mas?" tawarku sambil membalik badan.

"Iya, boleh, tolong Fin!" pintanya sambil mengibas-ngibaskan kausnya.

Aku menuruti keinginannya dan bangkit untuk membuka jendela kamar.
Kurasakan angin sejuk sedikit mengaliri kamar, namun tampaknya hal itu tak
cukup bagi Mas Bima. Mendadak dia melepas kausnya dan melemparnya ke kursi.

Ya Tuhan! aku tak pernah melihat Mas Bima tanpa atasan. Kali ini terekam
jelas di otakku tubuhnya yang kekar, puting kecoklatannya yang mencuat
serta perutnya yang rata. Ya Tuhan! bagaimana aku bisa tidur malam ini?
membayangkan tubuh itu tepat berada di sampingku sepanjang malam.

"Tidur dulu, Fin!" ujarnya sambil merebahkan diri di ranjang dan menarik
selimut kain yang sama hingga ke bawah dadanya.

Aku tak menjawab, sambil meneguk ludah sekali, aku kembali ke posisiku
membelakanginya namun mata ini tetap terebelalak tak bisa terpejam.

Setelah beberapa lama, saat aku mulai mendengar dengkuran Mas Bima, aku
akhirnya bisa bersantai… mataku sedikit demi sedikit mulai terasa berat
hingga akhinya tertidur.

Bluk! sebuah benda cukup berat menimpa pinggangku hingga aku terbangun.
Sepertinya baru sebentar aku terlelap. Aku melirik ke arah pinggangku.
Rupanya tanpa sadar tangan Mas Bima yang sedikit berbulu itu menimpa
pinggangku seperti posisi merangkul. Aku berdebar-debar. Suara dengkuran
Mas Bima masih terdengar walau tak senyaring tadi. Hembusan nafasnya
terasa sedikit di tengkuk aku. Sialan! mungkin dia kebiasaan memeluk Mbak
Tika saat tidur, jadinya tanpa sadar dia memelukku.

Tubuhku menjadi kaku, tak berani bergerak. Sebagian karena tak ingin
membuat Mas Bima terbangun sehingga dia tersadar dan tak lagi merangkulku.
Kurasakan telapak tangan Mas Bima yang tadinya terjuntai lemas kini
bergerak-gerak sedikit. Dengkurannya masih terdengar.

Jari-jarinya mulai bergerak-gerak mencoba menelusup ke balik kausku. Aku
menahan nafas dan tubuhku menjadi lebih kaku. "Mmmmm… ummm…." Mas Bima
mengeluarkan gumaman tak jelas saat tanpa sadar lengannya menggosok-gosok
perutku dan mengusap-usap dadaku.

Ya Tuhaaaaann!! pekik aku dalam hati. Hatiku terbagi antara menikmati
kejadian ini sekaligus merasa bersalah karena hal ini tak benar! Tapi
nafsu kepada Mas Bima mengalahkan akal sehatku. Kunikmati usapan tangan
Mas Bima yang kini semakin nakal meraba putingku dan memainkannya dengan
ujung-ujung jarinya. Kupejamkan mata sambil menggigit bibir.. Oh, Tuhan..
ini tak benar… Mas Bima adalah suami kakak sepupuku.. tapi.. tapi… ooh…
nikmat sekali… kurasakan penisku mengeras akibat terangsang.

Kubuka mataku saat kusadari dengkuran Mas Bima berhenti. Tangannya masih
memain-mainkan putingku. Kupalingkan wajahku. Betapa terkejutnya aku saat
melihat Mas Bima ternyata sudah terbangun. Matanya sayu memandangku.

"Mas…" kataku lirih. "Jangan…" aku mencoba menolak.

Tampaknya Mas Bima tahu bahwa penolakanku tak sungguh-sungguh. Tangannya
bergeser dan masuk ke dalam celana bokserku seraya meraih batang penisku
yang sudah menegang dan menggenggamnya.

"Mas…" desisku. Tubuhku bergetar saat Mas Bima mulai mengocok penisku
perlahan dalam genggamannya yang solid namun tak menyakitkan itu.

"Nggg… ngh… ngh…" hanya suara tertahan itu yang keluar dari mulutku
mencoba untuk tak bersuara terlalu keras. Aku masih menatap mata Mas Bima
yang sayu namun nafasnya terasa makin berat dan cepat.

Mimpi apa aku semalam? pria yang kupuja selama ini sekarang sedang
merangsang penisku dengan kocokan mautnya. Ingin rasanya membalas apa yang
dilakukan Mas Bima, namun aku terlalu takut melakukannya.

***

Setelah cukup lama aku mendesah-desah menikmati genggaman naik-turun
tangan Mas Bima pada penisku, dia kemudian menghentikan gerakannya.
Syukurlah, aku juga tak ingin sampai 'keluar' dulu walau sepertinya tak
akan bisa kutahan lagi apabila Mas Bima melakukan itu sedikit lebih lama.

Tangannya yang sesaat tadi berada dalam celana bokserku, kini meraih
tanganku dan perlahan mengarahkannya pada selangkangan Mas Bima.
Tatapannya masih sayu memandangku, namun aku paham keinginannya. Jantungku
berdegup kencang saat menyadari diriku akan memegang penis Mas Bima untuk
pertama kalinya, penis yang hanya sanggup aku impikan bentuk, warna dan
ukurannya itu…

Perlahan kubiarkan tanganku masuk ke dalam celana training pendeknya,
mencari tahu tekstur dan ukuran penis yang sempat tercetak jelas dari
balik celananya karena sudah ikut menegang bersamaan dengan penisku.

Oh Tuhaaaaan…. ujarku dalam hati. Aku menahan nafas saat menggenggam penis
Mas Bima. Benar-benar seperti yang kubayangkan, bahkan lebih… Penis yang
panjang, berdiameter cukup tebal dengan tonjolan urat itu benar-benar
membuatku gila! aku mencoba menikmati setiap detik momen saat Mas Bima
mendesah-desah ketika mengocok penisnya yang kukeluarkan dari celananya
agar lebih leluasa.

Mas Bima meraih kepalaku dan mengusapnya. Aku menatap wajahnya. Matanya
masih tampak sayu. Dengan lirih dia berkata, "hisap Fin…" pintanya.

Aku menuruti keinginan Mas Bima. Kudekatkan kepalaku pada batang penisnya
dan mulai mengulumnya walau pada awalnya terasa susah karena ukurannya.

Mas Bima mengerang. Dia menutup wajahnya dengan bantal untuk mengurangi
kebisingan sehingga dadanya terlihat naik turun dan ketiaknya terlihat
jelas. Seksi sekali…

Kulanjutkan dengan makin rakus mengulum, menjilat, menggigit batang penis
dan buah zakarnya. Kukerahkan semua kemampuanku untuk bisa membuat Mas
Bima merasa enak dan nikmat. Sayup-sayup dari balik bantal kudengar
pekikan Mas Bima yang tertahan. Tubuhnya meliuk-liuk liar. Aku
menghentikan gerakanku, dan menciumi perut Mas Bima, naik ke atas hingga
akhirnya kumainkan kedua putingnya dengan lidahku.

Mas Bima membuka bantal yang menutup wajahnya. Dia tampak terkesima saat
aku membuatnya enak dengan isapan mulutku pada putingnya.

"Nakal kamu Fin…" protes Mas Bima. Aku nyengir.

Tiba-tiba Mas Bima merubah posisi badannya. Dengan sekali gerakan,
lengannya yang kuat memaksa tubuhku rebah di atas ranjang hingga kami
bertukar posisi, Mas Bima lah yang ada di atasku sekarang.

Tanpa aba-aba, Mas Bima mulai menciumi dan menjilati leherku hingga aku
memekik tertahan. "sssssh…. ssssshhh…." Mas Bima buru-buru menutup mulutku
dengan telapak tangannya, khawatir suaraku membangunkan isi rumah. Aku
mengatur nafas agar lebih tenang. Aku menahan nafas berusaha tak bersuara
kencang walau sulit karena cumbuan Mas Bima benar-benar membuatku seperti
melayang ke langit ke-7.

Aku nyaris berteriak saat mulut Mas Bima mulai mengisap, menggigit dan
melumat putingku. Lagi-lagi Mas Bima terpaksa membekap mulutku agar
suaraku teredam. Cukup lama Mas Bima melakukan itu hingga tubuhku
meronta-ronta liar dan Mas Bima sedikit kewalahan menahan tubuhku dengan
lengan satunya.

Tangan Mas Bima yang menutup mulutku kini berusaha memasukkan jari
telunjuk dan tengahnya ke dalam mulutku. Aku menyambut jari Mas Bima dan
mengulumnya seolah-olah sedang mengulum penisnya hingga basah. Aku masih
terus merintih menikmati cumbuan Mas Bima. Setelah cukup lama Mas Bima
membiarkan dua jarinya dikulum olehku, dia menariknya dan
menggosok-gosokkan jari basah itu tepat di lubang pantatku.

"Mas…?" tanyaku khawatir. Terus terang, walau sering membayangkan
bagaimana rasanya anusku dimasuki sebatang penis, aku belum pernah berani
melakukannya. Dan kini sepertinya Mas Bima tertarik dengan daerah
pribadiku yang belum pernah dijamah oleh siapapun. Aku bersedia bila Mas
Bima menjadi yang pertama untukku, namun di sisi lain aku khawatir dengan
kemungkinan rasa sakit yang ada.

"Mas..? aku.. aku.. belum pernah…" kataku mencoba menjelaskan. Mas Bima
tak menjawab, dia malah menyeringai gembira seperti orang yang senang
mendapati durian-durian berjatuhan di kebun. Dia tak menjawab. Dia terus
memijat lubang anusku dengan jarinya. Aku dapat perawan, nih! mungkin
begitu yang ada dalam pikiran Mas Bima sekarang. Tapi itulah kenyataannya.

Perlahan Mas Bima memasukkan jari tengahnya ke dalam lubang anusku. Aku
mendesis kesakitan. Pantatku berdenyut-denyut seolah protes ingin
menyingkirkan benda asing yang berusaha masuk ke dalamnya.

"Mas…" rintihku. Aku merasakan air mata mengalir sedikit di ujung mataku.

"Ssssshh… ssshh…." desis Mas Bima berusaha meyakinkanku agar tetap tenang
dan tak bersuara. Dengan lembut dia memberiku semangat dengan mendaratkan
kecupan-kecupan di pipi dan leherku.

Aku menahan nafas merasakan jari Mas Bima semakin masuk ke dalam. Rasanya
pedih dan sedikit panas walau sudah terlubrikasi oleh ludahku sendiri.
"Hmmmppp…" erangku. Ketika Mas Bima merasa sudah cukup dalam membiarkan
jari tengahnya masuk di lubang anusku, dia menghentikan gerakannya.
Setelah aku merasa mulai terbiasa dan nafasku kembali teratur, Mas Bima
mulai menggerakkan jarinya maju dan mundur. Lagi-lagi aku memekik pelan
karena terasa pedih. Anehnya, ujung jemari Mas Bima memijat suatu bagian
di kedalaman yang membuatku berdesir karena terasa enak. Aku menatap
wajahnya heran, rasa pedih itu telah berkurang. Otot-otot dinding anusku
pun mulai rileks tak lagi meronta. Mas Bima kembali menyeringai seolah dia
tahu kalau dia telah melakukan hal yang benar. Dia melanjutkan gerakannya
hingga, Ya ampun! tanpa disentuh penisku kembali menegang akibat sensasi
yang kurasakan dari gerakan tangan Mas Bima.

Setelah agak lama Mas Bima melakukan itu dengan satu jarinya, dia kembali
berusaha memasukkan satu jarinya lagi. Kembali aku memekik, namun usaha
kedua Mas Bima tak sesulit pertama. Sensasi dua jari yang terasa penuh di
lubang anusku, memijat-mijat titik yang membuatku nikmat dua kali lipat
pula.

"Ahh… Mas…" ujarku ingin memuji tindakannya, namun hanya desahan yang
keluar.

"Mas Bima….." kataku lirih sambil menatapnya sayu. Aku tahu kalau dia tahu
apa yang kuinginkan. Aku sudah siap. Tak ada lagi yang kuinginkan saat itu
kecuali penis Mas Bima yang masuk menggantikan dua jarinya. Dan Mas Bima
pun mengerti, dia menyeringai kembali dan mencabut perlahan dua jarinya
dari lubang anusku.

"Basahin dulu Fin…" ujar Mas Bima. Dia bergeser hingga posisinya berbaring
telentang. Aku mengerti yang dia maksud. Kembali kugunakan mulutku untuk
mengulum kemaluan Mas Bima yang masih tegang itu. Namun kali ini
kupastikan air liurku cukup banyak melapisinya agar tak membuatku sakit
nanti.

Setelah Mas Bima merasa cukup, dia kembali merebahkan aku. Diangkatnya
satu kakiku melingkari pinggangnya yang ramping. "Aku masukkin ya, Fin?"
pinta Mas Bima. Aku menjawabnya dengan anggukan.

"Hmmmff…" dua jari Mas Bima tidaklah sebesar batang penisnya. Aku kembali
harus membiasakan diri. Namun keinginan untuk memuaskan pria yang
kukagumi, membuatnya merasakan kenikmatan memerawani diriku, membuatku
terus berusaha tenang dan rileks.

"Akh… Mas…" pekikku tertahan saat kepala penisnya berhasil menerobos masuk
lubang anusku. Kembali otot-otot dinding anusku berdenyut-denyut hebat,
memprotes benda lebih besar yang berusaha masuk kedalammnya.

****

"Ssssssshh…." lagi-lagi Mas Bima berusaha membuatku diam. Aku menggigit
bibir keras-keras berharap penis Mas Bima dengan mudah masuk
keseluruhannya. Mas Bima menciumi pipiku sementara tangannya
memain-mainkan putingku.

"Nggggghhh……" erangku sambil mencengkeram kuat-kuat lengan Mas Bima yang
berotot.

Rupanya Mas Bima sudah tak lagi memedulikan diriku yang merintih
kesakitan. Semuanya dia pusatkan pada keinginannya meraih kepuasan
sendiri. Kulihat matanya terpejam menikmati proses saat-saat batang
penisnya menerobos lubang anusku. Kudengar dia mendesah pelan "Uh…
sempit.."

Perjuangan itu akhirnya berhasil juga. Pantatku terasa penuh oleh batang
penis Mas Bima. Dia sendiri sedang berusaha mengatur nafasnya sambil
menikmati denyutan-denyutan liar dinding anusku yang terasa meremas-remas
penisnya.

Lalu Mas Bima mulai menggenjot batang penisnya keluar masuk. Aku hanya
bisa memekik menahan pedih sekaligus merasakan sensasi aneh namun nikmat
ketika hentakan pinggul Mas Bima membuat aku serasa melayang ke angkasa.
Setiap kali Mas Bima menghentakkan pinggulnya, mataku serasa melihat
kilatan cahaya, zap! zap! zap! tubuhku serasa tersetrum listrik, bedanya,
yang kurasakan sensasinya adalah bercampur rasa nikmat.

"Aah… aah…. " tanpa sadar mulutku mengeluarkan erangan yang cukup membuat
Mas Bima khawatir terdengar seisi rumah. Dengan tangannya dia berusaha
kembali membekap mulutku. Aku meronta-ronta karena sulit bernafas. "Hmmff…
mmmfff…" jeritku tertahan merasakan goyangan pinggul mas Bima yang semakin
panas.

"Ahh… pantat perawan emang paling enak… sempit…" racau Mas Bima sambil
memejamkan mata dan terus menggenjot penisnya.

"Mas Bima…" ujarku sambil menatapnya sayu. Aku ingin mengatakan padanya
bahwa sodokan penisnya di pantatku terasa nikmat sekali sekarang. Namun
kata-kata itu urung keluar dari mulutku.

"Kenapa Fin? enak?" seringai Mas Bima.

Aku mengangguk. "Iya Mas… terus mas… kontol mas Bima…" aku tak
menyelesaikan kalimatku. Seringai Mas Bima makin lebar tanda kemenangan.

Kuusap peluh dari dahi Mas Bima. Kuangkat kepalaku dan menjilati puting
Mas Bima yang sedikit basah oleh keringatnya. "Umm… umm.." gumamku sambil
terus mengisap puting Mas Bima.

"Aaah…" desah Mas Bima. Kombinasi antara penis yang diremas-remas pantatku
dan hisapan mulutku pada putingnya membuatnya semakin bergairah. Aku
lingkarkan kedua kakiku pada pinggangnya dan mengaitkannya erat agar
setiap tusukan penis Mas Bima semakin dalam kunikmati.

Gerakan pinggulnya yang semakin cepat rupanya berhasil menghujamkan
penisnya tepat pada titik kenikmatanku di prostat. Sebagai reaksinya,
penisku yang sudah tegang kini berdenyut-denyut ingin mengeluarkan cairan
sperma tanpa harus kusentuh. Aku takjub mengetahui bahwa seks anal bisa
membuatku orgasme tanpa melibatkan kocokan tangan. "Oh.. oh… oh…" erangku
seiring penisku yang semakin mengeras.

"Mas Bima….. aku.. aku mau keluar…" desisku sambil meringis mengalungkan
tanganku pada lehernya yang kokoh.

Beberapa detik kemudian peluru cair panas menyembur beberapa kali dari
penisku. Cairan itu membasahi dada dan perutku serta sebagian mengenai
dada dan perut Mas Bima. "Ooooouuuhhh…." erangku sambil meliukkan badan
tanpa sadar. Seluruh tubuhku berkontraksi. Dan efek ejakulasi itu menjalar
pada anusku yang otot-ototnya ikut berkontraksi maksimal sehingga
memberikan remasan dan pijatan yang tiada tara pada penis Mas Bima yang
ada di dalamnya.

"Oh.. Oh.. Fin! Fin!" pekik Mas Bima, matanya memutih, tubuhnya gemetar.
Rupanya sensasi pijatan otot anusku yang mencengkeram penis Mas Bima saat
aku ejakulasi membuatnya tak tahan lagi. Kedua lengannya mencengkeram
bahuku. Tubuhnya bergetar hebat, dan dengan hujaman terakhir dan paling
dalam, penisnya berdenyut-denyut dan memuntahkan lava putih di dalam
saluran rektumku hingga terasa hangat mengalir.

"Oooooooh…." erangnya. Semprotan demi semprotan sperma keluar dari batang
penisnya hingga ususku terasa makin penuh.

Mas Bima menjatuhkan tubuhnya di atas tubuhku. Nafasnya tersengal-sengal.
Punggung dan bahunya terlihat mengilap oleh tetesan keringat.

Aku mengusap-usap tubuh Mas Bima berusaha meredakan sisa-sisa permainan
panas kami. Perlahan penis Mas Bima mulai melunak dan keluar dengan
sendirinya dari lubang anusku. Tubuh Mas Bima bergulir ke sisi tubuhku dan
dia langsung tertidur. Perlahan aku beringsut turun dari ranjang menuju
kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku tahu ini salah, tapi aku tak bisa
menyembunyikan kebahagiaanku. Setelah kembali ke ranjang, aku mengecup
pipi Mas Bima yang terlelap dan ikut tertidur.

4 comments:

  1. Yang kost daerah Grogol sekitarnya add 2bb158c1 pngn dfuck polisi scurity satpam n dll DTgg

    ReplyDelete
  2. mau donk dientot sama om om yang kontolnya gede

    ReplyDelete
  3. Copas dari binanandthecity ya? Ada ijin nggak dari Bang Remy?

    ReplyDelete