Monday, January 28, 2013

Kisah Nyata: Ternyata Ayahku seorang Gay dan aku juga

Waktu kecil sungguh adalah masa yang sangat

membahagiakan bagiku. Limpahan kasih sayang kurasakan dari orangtuaku. Pun

secara materi, kami juga tidak kekurangan, hingga seringkali aku dihadiahi

mainan2 yang membuatku merasa anak paling beruntung di dunia ini. Kasih sayang

yang kuterima bertambah komplit, karena aku merupakan cucu pertama, maka ke dua

kakek nenekupun sangat memanjakanku.

 

Kebagian yang kuterima lambat laun kurasa berkurang.

Saat usiaku sikitar 10 tahun, ibuku makin jarang di rumah karena kesibukanya.

Tetapi ayahku, yang membuka toko dirumah, selalu mencoba menghiburku. Ya, ayah

bagiku adalah sosok paling sempurna di mataku, beliau selalu ada jika aku

butuhkan, aku seperti tak berdaya jika tak ada ayah. Walau menurut orang lain,

ayah terlalu santun dan lembut untuk ukuran seorang lelaki, tapi bagiku beliau

adalah segalanya. Ketidak hadiran ibu yang makin sering, dengan alasan

pekerjaan, tak berpengaruh banyak bagiku, walau aku merasa sedikit terabaiakan.

 

 

 

Belakangan, seringnya ibuku sibuk, kerap membuat orang tuaku bertengkar. Walau

ayah selalu membawa ibu ke kamar jika mereka beradu mulut, tapi aku mengetahui

bahwa mereka ada masalah. Kadang aku merasa kasihan terhadap ayah, beliau

selalu mengalah, jika ibu ada di rumah, ibuku bak seorang ratu yang terus

dilayani oleh ayahku. Bahkan untuk mengambil air minumpun, kadang ibu menyuruh

ayah. Sesekali aku suka merasa jengkel terhadap ibu. Tapi kepadaku, ibu juga

selalu lembut dan tidak pernah marah meski ibu sedang kesal terhadap ayah.

 

 

Akhirnya, di usiaku yang 12 tahun lebih, mereka memutuskan untuk berpisah, aku

ingat betul waktu itu ibu baru pulang, karena memang sudah sekitar 3 bulan ibu

memutuskan diam di rumah orang tuanya dulu. Sore itu mereka memanggilku, mereka

tidak mengatakan cerai, tetapi akan tinggal terpisah. Mereka mengijinkan aku

untuk tinggal dimanapun kalau aku suka. Tak lebih dari seminggu, ayah

meninggalkan rumah, pindah kerumah kontrakan, untuk sementara. Disana ayah

kembali membuka toko. Sedang rumah yang kami tinggali, mereka akan jual. Ibu

kemudian pindah kerumah nenek. saat itu, aku bingung, tapi karena sekolahku

lebih dekat ke rumah nenek, aku jadi ikut ibuku untuk sementara.

 

 

Saat itu, merupakan mimpi buruk bagiku, hal yang tak pernah aku bayangkan sama

sekali, ketika aku bertanya kepada ibuku, kenapa mereka tinggal terpisah, ibu

hanya bilang suatu saat aku pasti mengerti, karena mereka sudah tidak ada

kecocokan. Ayahku sendiri selalu mengajaku bicara. Menyakan perasaanku ketika

itu. Beliau berusaha supaya aku tidak merasa menjadi korban.

 

 

"mungkin ayah menyesali senua yang terjadi, tapi satu hal yang tak pernah

ayah sesali dalam hidup ayah, yaitu, ayah mempunyai kamu, kamulah harta ayah

yang paling berharga”. Begitu kata ayah ketika dia pertama kalinya membawaku ke

rumah barunya. Saat itu ayah terus memeluku, dan kulihat matanya merah. Mata

ayah memang sudah seminggu ini sembab. Jika ditanya, ayah hanya merasa bersalah

terhadapku. Kata-kata ayah itu selalu aku ingat dan membuatku kuat.

 

 

Aku tahu bahwa mereka dijodohkan oleh orang tua. Tapi kulihat mereka cocok dan

bahagia. Walau ibuku lebih dominan. Waktu itu aku bertanya dalam hati, apa

benar rumor tetangga yang mengatakan ibuku mempunyai kekasih lain. Pertanyaan

itu terus berkecamuk di kepala.

 

 

Hari pertama tinggal dirumah nenek, sungguh membuatku tersiksa, pagi hari, ibu

membangunkanku, biasanya ayah yang melakukanya. Dengan langkah terseret aku

berjalan menuju kamar mandi. Biasanya jika aku malas, ayah yang mengendongku,

bahkan memandikanku. Ya, ayah tak jarang memandikanku, meski usiaku bukan anak

balita lagi. Ayah memang selalu melakukanya jika aku malas mandi. Jika

bujukanya tidak mempan, beliau akan mengendongku, dan mau tak mau aku mandi.

 

 

Hari itu, aku langsung ke rumah ayah, dan mengadu tentang kejengkelanku.

 

 

“ya sudah, tak baik kalau selalu mengeluh, disini dulu aja, nanti sore ayah

antar pulang.” katanya. Hari sabtu pertama perceraian mereka, aku langsung

menginap dirumah ayah. Ayah bersikap seolah tak terjadi apapun. Sore hari aku

bahkan dimandikanya.

 

 

"kamu kan sudah besar, harus belajar mandiri” kata ayah waktu itu.

 

 

Dan selang beberapa bulan, saat kurasakan burungku mulai gatal dan kemudian aku

mengalami mimpi basah, aku tak ragu membicarakanya kepada ayah, karena kami

sudah berjanji untuk saling terbuka dan tak boleh ada rahasia. Ayah bicara

lembut sambil membelai rambutku.

 

 

“nah, bearti kamu sudah besar, sudah baligh, jadi harus hati-hati dalam

bergaul.” katanya.

 

 

Meski begitu, sifatku tetap saja manja. Selain itu banyak Sifatku yang kata

sebagian orang banyak sekali mirip ayahku.

 

 

Akhirnya kira-kira setahun setelah mereka berpisah, tak sengaja aku melihat ibu

berjalan dengan seorang pria yang usianya mungkin sama dengan ibu. Saat itu aku

melihat mereka didalam mobil. Amarahku langsung mendidih, inikah jawaban atas

semua pertanyaan ku, ternyata benar, selama ini ibu merasa kurang mendapat

materi dari ayah, itu yang kufikirkan saat itu. Waktu itu, aku langsung ke

rumah ayah, dan berdian diri di kamar.

 

 

“ada apa, dari tadi gak makan?" kata ayah.

 

 

Ayah sampai menelpon ibu dan bilang aku akan menginap setelah aku bilang ke

ayah tak mau pulang. Ayah terus membelaiaku, akhirnya aku bercerita tentang apa

yang ayah lihat.

 

 

“Yud, ayah dan ibu sebenarnya sudah bercerai, jadi ibu berhak mendapat yang

lebih baik, bukan salah ibu, itu sudah diatur Tuhan” itu kata-kata ayah, selain

kata-kata lainya yang diucapakan ayah, guna memberi pengertian terhadapku.

Akhirnya, akupun sedikit luluh, saat ayah menyuapiku didalam kamar.

 

 

“ayah juga harus cari istri, buat urus ayah” kataku.

 

 

“kalau ayah masih lebih suka sendiri, lagian nanti takut gak cocok sama kamu,

mending kosentrasi cari uang buat sekolah kamu nanti". Begitu kata ayah

waktu itu.

 

 

”apa ayah gak kesapian?" tanyaku.

 

 

“kan ada kamu” kata ayah.

 

 

“hayo mandi, ayah juga mau mandi, dah mau maghrib” kata ayah.

 

 

Sore itu, dengan rasa sayang dan iba terhadap ayah, aku mengosok punggung ayah,

hal yang bukan pertama kalinya aku lakukan, tapi saat itu, aku benar-benar

merasa sangat sedih.

 

 

“kok ngelamun, cepat gosokinya, ayah keburu dingin, nanti kamu juga masuk

angin” kata ayah.

 

 

Perlahan, aku mencoba untuk tidak selalu mengingat perpisahan orang tuaku, ayah

menyuruhku untuk giat belajar, daripada mengingat kejadian buruk dalam hidup.

Ayah malah menyuruhku untuk meminta pendapat orang lain, sebagai bahan

pertimbangan jika aku ada masalah. Dan biasanya aku bertukar pendapat dengan

sahabatku, Danang, yang setahun lebih tua dariku. Kebetulan orang tua Danang juga

bercerai, bahkan semenjak Danang kelas 3 SD. Ayahnya yang keturunan arab, sudah

meninggalkan ibunya demi wanita lain.

 

 

”kamu masih lebih beruntung, keluarga kamu semuanya menyanyangi kamu" kata

Danang, yang mulai akrab denganku sejak aku ikut pramuka, walau akhirnya aku

tidak melanjutkanya.

 

 

Dan akhirnya kira-kira tahun kedua perceraian ayah, terjadi hal yang diluar

nalarku, hal yang akhirnya mengubah jalan dan pandangan aku akan hidup ini.

 

 

Pagi itu, ayah menelponku dan mengingatkanku untuk sekolah, dia malah

menanyakanku apa akan datang kerumah, aku bilang tidak. Tapi pagi itu jam

pertama dan keduaku gurunya tidak ada, entah fikiran apa yang terbersit, aku

akhirnya pulang tanpa ijin. Asalnya aku mau pulang kerumah, tapi kira-kira jam

8 lebih, aku akhirnya memutuskan kerumah ayah. Saat sampai, kulihat toko ayah

masih tutup, padahal waktu sudah jam 9 lebih. Aku akhirnya membuka pagar, dan

kulihat di belakang toko, tersembunyi ada becak. Aku sempat heran, mungkin ayah

dibelakang, fikirku, saat itu kulihat keanehan lain, tirai jendela tertutup

setengah. Akhirnya dengan melewati celah sempit samping rumah, aku berjalan

pelan, hendak aku panggil dari dekat kamar ayah, fikirku saat itu.

 

 

Tapi saat mendekati kamarnya, aku samar mendengar orang cekikikan, akhirnya

pelan aku dekati jendela kamar ayah, yang letaknya memang paling belakang.

 

 

“kamu kangen ya?" kata ayah.

 

 

“iya mas” kata orang menjawab, yang bikin aku kaget, yang menjawab suaranya

seorang pria, sedang ayah suaranya sedikit dimanja-manjakan. Rasa penasaran

menyelimutiku, pelan-pelan, aku mendekati jendela, dan mengintip di balik celah

tirai. Sungguh, pemandangan yang sangat tak biasa aku saksikan, saat itu

seorang pria yang kebetulan aku kenal, sedang berdiri bertelanjang dada, dan

mengenakan celana training. Yang menjijikan, ayah tengah asyik mengulum putting

susu pria yang aku kenal sebagi tukang becak yang kadang mengantar ayah

belanja. Sebut saja Slamet, pria berusia sekitar 27 tahun itu, aku bahkan mengenalnya,

karena pernah beberapa kali bertemu, bahkan aku tahu kira-kira 8 bulan lalu,

ayah meminjamkan uang untuk pernikahanya.

 

 

Ayah seperti bukan yang aku kenal, dia seperti seorang yang kelaparan dan terus

menjilati tubuh kelam mas Slamet, tubuh yang urat-uratnya seperti mau keluar itu,

bagai mainan bagi ayah. Bahkan tak lama kemudian, ayah menurunkan celana mas

Slamet, dan tanpa ragu langsung mengulum kontol mas Slamet, kulihat mas Slamet hanya

memejamkan matanya.

 

 

“enak mana sama istrimu” kata ayah manja.

 

 

“enak hisapan mas” kata Slamet, seperti seorang penjilat yang berusaha

menyenangkan ayah.

 

 

Tak lama ayah membuka sekuruh pakainya, saat itu mas Slamet juga menurunkan

celanaya. Dan untuk pertam kalinya, aku melihat kontol ayah yang tegang.

Padahal selama ini, meski kadang mandi bersama, tak pernah sekalipun aku

melihat kemaluan ayah berdiri seperti itu. Mas Slamet langsung berbaring dan ayah

kembali mengulum kontol mas Slamet, aku sebenarnya ingin pergi, tapi entah,

kakiku kurasakan berat sekali. Sesaat kemudian, ayah naik diatas tubuh mas

Slamet, perlahan dia mengoleskan sesuatu di kontol mas Slamet, kembali aku

terbelalak, dari belakang dapat kulihat ayah berusaha memasukan kontol mas

Slamet, dan tak berapa lama, kontol itu dengan mudah masuk ke pantat ayah.

Kulihat ayah mengerakan pinggul, persis wanita yang ada di film, yang aku

tonton secara sembunyi-sembunyi bersama Danang.

 

 

Melihat itu, aku seperti bukan melihat ayah, tapi melihat orang asing, tak

lama, ayah bergeser kesamping dan nungging, mas Slamet seperti sudah tahu,

langsung menancapkan kontolnya dan mengenjot ayah sambil memegang erat pinggang

ayah. Satu tanganya kulihat mengocok kontol ayah, adegan itu terus kusaksikan,

sampai akhirnya ayahku mengambil baju miliknya dan menutup kemaluanya, dari

mulutnya keluar kata-kata.

 

 

“ahh, enak, enak”. Sesaat kemudian, mas Slamet pun mendesah hebat, hingga

tubuhnya tersungkur di punggung ayah. Aku cepat-cepat pergi, dengan beribu

fikiran di benakku.

 

 

Sejak kejadian itu, hampir seminngu aku tak ke rumah ayah, dan itu tentu saja

membuat ayahku terus menelponku. Akhirnya aku fikir, nanti ayah curiga. Jadi

aku kemudian datang.

 

 

Ayah langsung percaya saat kubilang "gak enak badan, jadi gak

kemana-kamana takut sakit”. Tapi sesekali dia menanyaiku tentang aku yang

sesekali terlihat melamun. Aku bahkan sedikit menolak waktu diajak mandi

bareng.

 

 

“aku kan dah besar, mau belajar mandiri” kataku. Ayah sangat senang mendengar

itu, walau tiap malam dia tetap berusaha mengeloni aku. Akhirnya sejak kejadian

pertama itu, aku beberapa kali berusaha datang pagi jika ada waktu bebas, tapi

tak pernah kupergoki ayahku lagi, sampai akhirnya, kira-kira 3 bulan kemudian,

aku kembali mengintip dia bersama lelaki muda lain yang aku tak kenal, tak

sampai 3 minggu, giliran mas Slamet kembali yang aku lihat mengagauli ayahku.

 

 

Dan kemudian, suatu hari, aku sengaja memancing ayah berbicara. Malam itu, aku

sudah dikamar ayahku menyaksikan tv.

 

 

“yah, boleh tanya gak? apa ayah waktu nikah sama ibu masih perjaka?"

kataku.

 

 

“iya" mang kenapa.

 

 

“gak, temanku cerita, dia sudah gak perjaka” kataku.

 

 

“oh ya, tapi kamu masih kan?" kata ayah.

 

 

“iya”.

 

 

“tapi yah, gimana kalau aku gak kuat nahan, dan kebabaslan” tanyaku.

 

 

“ya, mudah-mudahan jangan, nanti berabe kalau wanitanya hamil, mang dah punya

pacar ya?" kata ayah.

 

 

“ada sih ya yang aku taksir, cantik” kataku berbohong.

 

 

“iya, tapi hati2-hati ya, jangan berdua-dua aja” kata ayah.

 

 

“tapi gimana ya yah, kan kadang nafsu seringnya gak bisa dikendaliin?"

tanyaku.

 

 

“ya iyah, susah juga” kata ayah.

 

 

“temenku banyaknya bilang onani aja" kataku.

 

 

“oh, mungkin lebih baik dari pada main perempuan?" kata ayah.

 

 

"bahaya gak sih yah kalau kebanyakan onani” kataku.

 

 

“kan dulu ayah bilang, biasanya perasaan bersalah aja yang timbul, mang kenapa

sih nanya-nanya gitu, kamu dah mulai onani ya?" kata ayah.

 

 

“gak kok yah” jawabku.

 

 

Aku tahu ayah pasti tidak percaya, dia kulihat hanya senyum. Pernah suatu kali

ayah bertanya kenapa aku lama di kamar mandi, aku berbohong kencing. Tapi ayah

senyum saat memakaikan celana dalam dan melihat kontolku merah.

 

 

“kalau nyabunin burung, jangan kenceng, nanti perih, pelan-pelan aja” kata ayah

waktu itu, aku hanya senyum.

 

 

“soalnya aku suka diledek terlalu kalem yah, jadinya aku berusaha punya pacar”

kataku.

 

 

“ya, jangan alasannya itu, alasan harus cinta, supaya langgeng” kata ayah.

 

 

“nanti kaya ayah ya, kan dijodohin, jadi gak cinta bener” kataku.

 

 

“gak juga” kata ayah sambil mencubit pinggangku.

 

 

“yah, ada anak SMA, ngajak kenalan, tapi cowok, terus mau kasih-kasih hadiah

gitu, aku gak mau, kata teman-teman jangan-jangan dia homo” kataku.

 

 

“iya, kamu harus hati, tapi ingat, kamu jangan sampai memperlihatkan

ketidaksukaan kamu, kan gak ada orang yang mau jadi homo” kata ayah.

 

 

Aku agak tertegun mendengar jawaban ayah, kalau gak ada yang mau, kenapa ayahku

homo.

 

 

“lalu kenapa dia jadi homo” tanyaku.

 

 

“banyak faktor, ada bawaan, salah gaul, coba-coba” kata ayah,

 

 

“dulu aku ada yang ngeledek gitu juga ya, gara-gara akrabnya sama Danang, jadinya

males lagi pramuka” kataku.

 

 

“yang ledek jangan didengerin” kata ayah.

 

“kalau aku homo, ayah gimana?"

tanyaku.

 

 

“wah, jangan sampai, tapi apaun kamu, kamu tetap anak ayah dan ayah akan selau

sayang sama kamu."

 

 

Entah, ayah selau bijak dalam menjawab, tapi ketika bersama pria, kulihat ayah

seperti seorang gadis dilanda cinta, aku jadi bingung.

 

 

Hal-hal yang kusaksikan pada ayah, membuatku terus melamun, sesekali, bayangan

badan mas Slamet, yang berotot, dan berkontol besar, kadang menganggu fikiranku.

Meski akhirnya aku mempunyai pacar wanita cantik, tapi disisi lain, bayangan

pria yang menyetubuhi ayah, atau bayangan wajah ayah yang sepertinya melambung

ke angkasa kadang selalu terlintas. Hingga akhirnya, rasa penasaranku

mengalahkan segalanya. Hari itu aku sengaja menyakan Danang tentang kaset, meski

dia telah ke SMA, tapi kami tetap berhubungan baik.

 

 

“ada nanti kerumah aja" kata Danang siang itu.

 

 

Akhirnya sore hari, aku main ke tempatnya.

 

 

“ibu kamu ke mana?" tanyaku.

 

 

“biasa, jam 8 malam baru pulang" kata Danang.

 

 

Akhirnya kamipun menyaksikan adegan demi adegan. Biasanya kami hanya diam dan

menonton tanpa membahas. Tapi saat itu aku bertanya kepadanya.

 

 

“duh, gimana ya rasanya di isap gitu?" kataku.

 

 

“iya” kata Danang.

 

 

“Mir kamu bangun gak?" tanyaku.

 

 

Danang mengangguk,

 

 

"aku juga." kataku. “arab katanya gede ya?" kataku.

 

 

“ah, biasa aja, tapi bulunya mayan banyak, sejak 6 SD, aku dah berbulu”

katanya.

 

 

“aku sih sekarang aja masih jarang."

 

 

“liat coba” kata Danang.

 

 

“tapi kamu dulu aku liat” kataku.

 

 

Danang akhirnya membuka seletingnya, perasaanku saat itu campur aduk, dan benar

saja, kontol Danang ternyata diatas rata-rata anak SMA, dengan sedikit melengkung

bagian atas dan batang lebih lebar.

 

 

“aku mah kecil” kataku.

 

 

“mana?" kata Danang melihat kearah kontolku, perlahan akupun membukanya.

Itulah, selama ini kalau nonton saling diam.

 

 

”ah, mayan juga, lurus lagi" kata Danang. Tiba-tiba Danang meraba kontolku.

Akupun melakukan hal yang sama, kami saling cekikikan.

 

 

“dah pernah ma cewek?" kataku.

 

 

“belum lah, takut hamil”. Aku mengangguk.

 

 

“berani gak ngisap” kataku.

 

 

“berani, asal kamu juga, aku kan belum pernah ”kata Danang.

 

 

“tapi kamu duluan” kataku.

 

 

Akhirnya perlahan Danang mendekatkan mulutnya, aku antusias, malah celananya

makin lebar ku buka. Kurasakan nikmat saat Danang mengulumnya, walau hanya

gerakan ringan naik turun mulut, kemudian Danang berhenti.

 

 

“aku sekarang” kata Danang.

 

 

Akupun melakukan hal yang sama, juga hanya naik turun mulut dan sebentar.

 

 

“ih, rasanya aneh” kataku, dan kurasakan ada bulu nyangkut di gigiku, Danang

mengangguk dan tersenyum.

 

 

“lagi yuk, tapi bareng” kata Danang, aku mengangguk, akhirnya pelan tapi pasti,

kamipun saling mengulum kontol, sampai akhirnya kurasakan ada aliran yang akan

keluar.

 

 

“aku mau keluar” kataku dengan nafas terengah. Danang cepat mengambil handuk, lalu,

ahh, ahh, spermaku kutumpahkan di handuk. Kulihat Danang mengocok kepala

kontolnya, tak lama diapun mengambil handuk yang sama, akhirnya ahh ahh, sperma

ami kulihat tumpah, jauh lebih banyak, malah kulihat urat-uratnya sampai

seperti mau keluat saat kepala kontol Danang kembang kempis.

 

 

“enak ya, tapi janji, jangan bilang siapa-siapa ya?" katanya, aku

mengangguk.

 

 

3 hari kemudian, kami mengulanginya, bahkan kami berani saling mengisap

payudara, saat itu aku berfikir, inikah yang ayah rasakan. Usiaku belum lima

belas, tapi aku mulai memahami nikmatnya bercinta dengan sesama. Lebih gilanya,

hati kecilku berkata, aku ingin bercerita kepada ayah, hal yang selalu aku

lakukan jika mengalami sesuatu, bahkan mimpi basahpun aku berani cerita, tapi

apakah untuk hal ini aku berani, aku mungkin akan di kira ayahku gila.

 

 

Tapi akhirnya, akupun mencobanya, biar ayah fikir aku gila. Malam itu, aku

tidur dikamar ayah, hawa sedikit panas, aku membuka bajuku dan hanya mengenakan

boxer tanpa celana dalam. Kupeluk ayah dari belakang, akupun bersikap tenang

dan berusaha jail seperti dahulu waktu kecil. Kuraba-raba perut ayah.

 

 

“kamu ya, becanda aja” kata ayah.

 

 

”sana pake baju, nanti masuk angin” kata ayah.

 

 

“panas gini" kataku.

 

 

Pelan, aku mulai meraba bagian pusar ayah.

 

 

“yah, burung ayah kalau bangun gede ga?" kataku.

 

 

"ya biasa aja, kamu bukan dah liat” kata ayah, kemudian berbalik

menghadapku, lalu dia menarik tanganku dan meletakanya dipinggangya.

 

 

“belum kalau bangun, soalnya tidur melulu” kataku.

 

 

“mang gak bisa bangun ya yah” kataku.

 

 

“bisa, tapi harus sama cewek” kata ayah.

 

 

"kalau sama aku dipegang, bangun gak?" kataku.

 

 

“ya gak lah, anak sendiri masa bangun” kata ayah.

 

 

”aneh, ada apa nih, hayo cerita” kata ayah, aku asalnya menolak, tapi bujukan

ayah kembali menenagkanku.

 

 

“tapi ayah jangan marah” kataku, dia mengangguk.

 

 

“aku dipegang-pegang orang yah, jadi keluar” kataku. Ayahku sedikit kaget, tapi

kulihat dia tenang kembali.

 

 

"Cuma dipegang aja kan?" katanya, aku mengangguk.

 

 

“siapa, pacar kamu?" tanyanya,

 

 

”hati-hati, awalnya megang, lama-lama kebablasan” sambung ayah.

 

 

“bukan yah, teman sekelas, cowok, waktu kemarin renang” kataku bohong.

 

 

“wah, hati-hati, nanti melakukan lagi, lama-lama, kami jadi lebih jauh sama

cowok” kata ayah. “ayah marah ya?" kataku.

 

 

“gak, tapi hati-hati aja, kan kamu takut jadi homo” kata ayah.

 

 

“kalau aku homo, ayah pasti gak ngaku anak lagi ya?" tanyaku.

 

 

“jangan ngomong ngelantur ah, ayah akan selau sayang, tapi jangan jadi homo

ya?" katanya.

 

 

“mang napa ya?" kataku.

 

 

“kan dilarang agama” kata ayah.

 

 

Aku sempat diam, tapi kemudian kupeluk ayahku.

 

 

”yah, kok aku jadi bangun ya?" tanyaku sambil kukeluarkan kontolku.

 

 

“ih nih anak, masukin, mana bulunya dah hitam lagi, malu dong” kata Ayah.

 

 

“aku ma ayah gak malu, kan kata ayah kalau ada apa-apa ayah ingin ayah yang

pertama tahu." kataku.

 

 

“iya, makasih ya dah jujur, mudah-maudahan seterusnya kamu tetap terbuka sama

ayah” kataku.

 

 

“tapi ayah terbuka juga gak ma aku” kataku.

 

 

Kesempatan fikirku waktu itu.

 

 

”ya iya, mana ayah ada rahasia” kata ayah.

 

 

“coba jujur, apa ayah benar-benar cinta ibu?" kataku.

 

 

"kalu jujur, kamu marah gak?" kata ayah.

 

 

"aku janji gak akan marah apapun yang ayah ceritakan” kataku.

 

 

“ayah sebenarnya tidak begitu cinta, tapi ayah gak tega menolak keinginan orang

tua” kata ayah.

 

 

“lalu ayah kenapa mau dinikahkan” kataku.

 

 

“ayah hanya ingin menjadi anak baik, karena selama ini hidup ayah penuh dosa”

kata ayah.

 

 

“maksud ayah” tanyaku.

 

 

“ya iya, ayah belum bisa balas kebaikan orang tua, jadi ayah merasa dosa” kata

ayah.

 

 

Aku tahu bahwa ayah sedikit berbohong juga.

 

 

“ada satu lagi, tapi ayah jangan marah, dan akupun gak akan marah dan akan

berusaha memahami ayah” kataku,

 

 

”maksud kamu” kata ayah bengong sambil membelai rambutku.

 

 

“aku pernah ngintip ayah sama mas Slamet” kataku. Kulihat muka ayah merah.

 

 

"kamu” kata ayah.

 

 

“aku gak sengaja, tapi aku gak akan marah kok yah” kataku.

 

 

Kami akhirnya diam, entah, aku hanya menunggu ayah bicara. Tapi dia terus diam,

malah memandang langit-langit dan tak berani melihatku, kulihat sudut matanya

mengeluarkan air mata.

 

 

“ayah jangan nangis, mungkin sebaiknya aku tadi tak bilang."

 

 

“gakpapa, ayah malah aneh, merasa lega, tak menyangka kamu sedewasa itu,

maafkan ayahmu yang bejat ini ya?" kataku.

 

 

“aku juga dah sedikit bejat yah, hehehe" kataku.

 

 

“maksud kamu, pasti kamu gak hanya megang” kata ayah mendelik.

 

 

“sumpah yah, cuma onani bareng, tapi kemudian megang punya teman." kataku

berbohong.

 

 

“sama siapa?" kata ayah.

 

 

“nanti kalau sudah siap pasti aku kasih tahu” kataku.

 

 

“ah, paling Danang” kata ayah.

 

 

“ada deh" kataku.

 

 

Aku kembali memeluk ayah, sesekali aku iseng merba kontol ayah.

 

 

“kamu benar baru megang-megang aja?" tanya ayah lagi.

 

 

“bener yah, sebenarnya kan ayah bilang, apapun ayah harus yang pertama tahu,

asalnya aku malah ingin ayah yang onanin, tapi pasti ayah sangka aku gila”

kataku.

 

 

“iya, nanti ayah dikira ayah bejat dan gila"

 

 

“tapi yah, kalau aku sih, lebih baik tahu dari ayah dulu dari pada orang lain”

kataku.

 

 

“maksud kamu ayah yang nyabunin ini kamu” kata ayah sambil meremas kontolku.

Aku mengangguk.

 

 

“saraf kamu ya?" katanya tertawa.

 

 

“kan turunan ayah” kataku.

 

 

"yah, mas Slamet kontolnya gede ya? apa aku bisa segede itu nanti” kataku.

 

 

“kamu kan masih numbuh, pasti bisa, sekarang aja gede mau ngalahin ayah” kata

ayah .

 

 

”masa” kataku sambil meraba-raba daerah kemaluan ayah.

 

 

“ayah jangan marah yah kalau aku jujur dan gila” kataku.

 

 

“gak lah, semuanya juga mungkin karena ayah juga" kata ayah.

 

 

“aku sebenarnya maunya ayah yang pertama merasakan tubuh aku, atau sebaliknya,

aku gak mau orang lain” kataku.

 

 

"tapi mana mungkin, kita sedarah, nanti katanya bisa gila” kata ayah.

 

 

“gakpapa, kalau gilanya bareng ayah, nanti satu rumah sakit” kataku, ayah

tersenyum.

 

 

“yah, sebenarnya aku mau tahu yang lain, aku mau tahu rasanya nyodok atau

mungkin disodok, tapi sama siapa, sama teman aku gak mau, mereka takutnya dah

pernah sama orang lain, masa mereka dapet yang baru aku sisa” kataku.

 

 

“terus, maksudnya” tanya ayah.

 

 

“ajarin aku yah, sodok aku” kataku pelan.

 

 

“kamu ini, mana mungkin” kata ayah sambil meraba rambutku lembut.

 

 

“gakpapa, aku rela, aku ingin tahu rasanya” kataku.

 

 

Ayah merangkulku.

 

 

“ya yah.." kataku.

 

 

Ayahku diam, entah, saat itu, itu merupakan tanda dia mengijinkan fikirku saat

itu. Tanganku akhirnya kugerakan mencoba mengusap pusar ayah, ayah diam dan

hanya senyum, saat tanganku makin masuk, diapun hanya diam.

 

 

“ayah marah gak?" tanyaku, dia mengeleng.

 

 

Perlahan aku melepaskan celanaku, kulihat kontolku telah berdiri.

 

 

“ayah buka juga dong” kataku.

 

 

Perlahan ayahku mulai menurunkan celanaya, kaosnya aku yang bantu buka, kami

akhirnya telanjang bulat, kami sempat cekikikan.

 

 

“ayah gak tega” kata ayah.

 

 

“gakpapa yah” kataku.

 

 

“terus habis gini ngapain” kata ayah.

 

 

“kok ayah yang tanya?" kataku sambil berbaring diatas tubuh ayah.

 

 

Tiba-tiba, saat kontolku berdempetan dengan kontol ayah, kurasakan kontolnya

bergerak.

 

 

“ih, katanya gak bisa bangun” kataku. Ayah hanya tersenyum.

 

 

“kamu sudah besar ya, ayah gak merhatiin, burungnya gede juga" kata ayah.

 

 

“ayah mau? boleh” kataku, aku kemudian menyuruh ayah tengkurap, aku lalu

memijat punggung ayah.

 

 

“ayah, lotionya ditaruh di mana?" kataku.

 

 

“ayah menunjuk lemari” aku membuka lacinya.

 

 

"kok kamu tahu" kata ayah.

 

 

“ngintip ayahnya kan bukan sekali, tapi ayah kok orangnya item-item” kataku.

 

 

“dasar” kata ayah.

 

 

Saat aku mengoleskan lotion di kontolku dan kemudian menganjal perut bawah

ayah. Ayah sempat berkata.

 

 

“Yud, mending jangan, kita dah terlanjur jauh, ayah gak mau kamu jadi rusak”

kata ayah.

 

 

“kalau gak sama ayah juga, nanti rusak ma orang, kalu mau rusak, rusak aja yah”

kataku.

 

 

Akhirnya ayah diam. Ayah menyuruhku mematikan lampu, hanya ada cahaya

samar-samar dari luar kamar. Saat perlahan aku mulai memasukan kontolku ke

pantat ayah, kulihat ayah hanya memejamkan mata sambil terus tertelungkup,

perlahan aku mulai memaju mundurkan kontolku, sesekali keluar kata ahhh dari

mulutnya.

 

 

Hanya kira-kira 15 menit, aku mengenjotkan kontolku di lubang pantat ayah.

 

 

“yah aku mau keluar” kataku.

 

 

Ayah kemudian bergerak, hingga kontolku lepas, dia kemudian menghadap kontolku.

 

 

 

“keluarinya di mulut ayah” katanya.

 

 

“ayah gak jijik” kataku.

 

 

“gak, ayah mau jadi yang pertama menelan sperma anak sendiri."

 

 

Akhirnya kuraskan ayah menghisap kontolku, lembut, tapi kuat dan nikmat,

akhinya akupun meregang dengan tangan ayah mendekap pantatku. Perlahan

kuperhatikan kontol ayahpun sudah memerah, aku lalu menghisapnya walau ayah

awalnya menolak, tapi kemudian, dia hanya bisa meremas kepalaku lembut. Diapun

kemudian menumpahkan spermanya, tapi diatas bantal.

 

 

“jangan Yud, jangan dimulut kamu, ayahkan sudah sering keluar” kata ayah.

 

 

Sejak itu, sesekali kami mengulangnya, bahkan kemudian, ayah yang pertama

menyodomiku, walau dia terus terang berkata, tidak suka, lebih suka menjadi

yang di sodomi. Aku sendiri akhirnya melakukanya dengan Danang. Danang menjadi

korban pertama kontolku, dia yang memang belum pernah dan tak suka di sodomi,

terpaksa mau melakukanya jika aku minta, karena kesepakan kami yang harus

menerima satu sama lain, walau akhirnyai aku kemudian menjadi lebih banyak di

sodok Danang. Bahkan bersama ayah, aku membuat sebuah kesepakantan. Aku membawa

Danang ke rumah, saat dia menyodomiku, ayah yang berpura-pura tak di rumah,

mengintipku, begitu juga ayah, jika ada mas Slamet atau yang lain, tanpa

sepengetahuan mereka aku mengintipnya. Bahkan ketika Danang memperkenalkan dengan

teman arabnya, yang berkontol jauh lebih besar dari mas Slamet, tapi usianya

lebih muda, dan berbulu sangat banyak. Ayah dengan diam-diam menyaksikan anak

kesayanganya di gempur oleh 2 orang pria. Ayah sendiri menyukai teman Danang,

tapi kesepakatan kami untuk tidak saling membuka kebobrokan kami, membuat ayah

hanya bisa meniru adegan kami dengan orang lain.

 

3 comments: