Saturday, January 11, 2014

Liburan di desa untuk kontol

Liburan kemarin adalah yang paling mengesankan sepanjang umur hidupku.
Aku diutus keluargaku mengunjungi kakek di salah satu kota kecil di Jawa
tengah. Sementara keluargaku pergi ke Palembang untuk bersilaturahmi
dengan keluarga Ayah di sana. Ayah sangat otoriter sehingga ibu pun
tidak bisa bertemu dengan ayahnya dan hanya mengutusku.

Aku anak tunggal dan sebenarnya ibu tidak rela melepasku sendirian ke
tempat kakek. Meskipun umurku sudah hampir menginjak kepala 2 tapi
terkadang ibu masih mengkhawatirkanku seperti anak SD saja. Berbeda
dengan ayahku yang cukup keras kepadaku dan mendorongku supaya lebih
mandiri. Dua sifat berbeda ini sering menjadi pertentangan bagi mereka.

Aku tahu mereka orang yang sangat menyayangiku. Sayang dengan cara yang
berbeda, bahkan bertolak belakang. Terkadang aku merasa Ayah terlampau
kejam terhadapku, namun di balik itu semua aku juga merasakan manfaat
yang tak ternilai. Aku jadi lebih berani dan lebih jantan dan tidak
manja. Andai tak ada Ayah mungkin aku sudah ikut kelompok banci dan
dandan seperti mereka. Untung saja Ayah menyelamatkanku. Dalam diriku
aku memiliki ketegasan dan keberanian Ayah dan juga kelembutan dan
keromantisan dari ibu.

Kembali ke kakek. Beliau memang sudah cukup umur dan tidak sesehat
sewaktu muda. Kakek tiggal bersama Pak lik Danu, adik bungsu yang
sekarang belum juga berkeluarga. Umurnya sudah tigapuluhan dan bila
didesak dia akan bilang belum bertemu jodoh. Kami cukup akrab sebab
semasa sekolah SMA dia ikut keluarga kami. Orangnya baik dan suka
'ngemong' istilah jawanya (mengayomi/melindungi).

Kembali lagi ke kakek. Pernah ibu dan ayah untuk menawari tinggal
bersama kami , namun dia tidak mau karena banyak alasan. Yang kebunnya
tidak terurus, yang Pak Lik sendirian, yang nanti rumah berantakan dan
lain lain. Intinya beliau tetap ingin hidup di desa. Nenek sudah lama
almarhum.

***

"Ya sudah sana Rob kalau kamu mau istirahat dahulu", bola matanya
melirik ke kamar yang sudah disiapkan bagiku. Aku sampai jam 3 pagi dan
sempat menunggu 2 jam untuk angkutan pedesaan pertama.

"Nanti saja lik, saya mau mandi saja dahulu", memang rasa keringat
semalam belum hilang. Belum bau rokok dan bau keringat yang mengering.

"Ya sudah sana siapkan bajunya. Nanti Pak lik yang timbakan airnya"

"Nggak usah lah! Nanti saya timba sendiri", kataku sungkan.

Aku masuk ke kamar untuk meletakkan ransel sekaligus mengambil handuk
dan pakaian ganti. Tak lupa juga mengecas hape yang batrenya sudah mati.

Sesampai di kamar mandi aku kaget karena ternyata bak sudah penuh dengan
air yang masih bergoyang-goyang tanda baru saja diisi. Airnya bening dan
pasti segar sekali. Sementara Pak Lik sudah tidak kelihatan kemana.

Segera kututup pintu kamar mandi sederhana itu.Atapnya dari seng plastik
sehingga tampak terang sekali. Kubuka kaus hitamku, terasa hembusan
angin dingin segar menerpaku. Dalam sekejap aku telah bertelanjang. Ah,
kontolku terlihat menyusut entah karena kepanasan atau karena celana
dalamku terlalu ketat. Di celana dalamku terlihat sedikit bekas mazi
hasil lamunanku di bis semalam.

Air segar pegunungan segera kusiram ke seluruh tubuhku. Ahhh segar
sekali. Kububuhkan sabun cair pria yang mengandung mint. Hmmm sangat
segar dan maskulin baunya. Sensasi kesegarannya mengembalikan semangat
lesu karena kelelahan.

Saat dua siraman untuk membersihkan sabun, kudengar suara kayu patah
cukup keras. Krak dan suara orang mengaduh di tahan. Kutajamkan
telingaku. Sepertinya ada orang berlari menjauh dari kamar mandi. Segera
kubuka pintu, ingin tahu siapa yang telah mengintip. Ada seorang anak
sebaya denganku berjalan cepat menjauh. Dia menggunakan celana pendek.
Sinting! Ternyata di desa ini ada homo suka mengintip.

Kuselesaikan mandiku dengan cepat dan segera menuju ke dalam rumah.

"Kamu sahur tadi pagi kan?" tanya kakek.

"Alhamdulillah kek, tadi pagi ada warung dekat terminal yang buka."

"Syukurlah kalau begitu kamu puasa kan?"

" Ten.. tentu dong kek. Saya kan sudah dewasa." Kakek teringat dua tahun
lalu aku ketahuan tidak puasa oleh kakek.

***

Setelah tidur sampai jam 9.30, aku mencoba mengisi aktifitas hari ini
dengan berjalan-jalan ke dekat danau kecil sana. Danau itu luasnya tak
lebih besar dari danau Sunter di Jakarta sana. Ada satu tempat cerukan
danau yang cukup asri . Di sana banyak pemuda sering berenang kalau sore
atau siang kala bulan puasa seperti saat ini.

Aku berjalan ke sana. Kalau cukup sepi aku ingin berendam. Sekedar
menenangkan diri dan berekreasi. Danau kelihatan tenang dan bening. Di
cerukan itu memang ada satu mata air yang tak pernah kering. Banyak
penduduk desa yang belum mampu 'nyelang' mengambil air secara langsung
di sendang itu.

Benar saja dugaanku, jalan setapak di kerubungi oleh karpet rumput hijau
dengan beberapa pohon rindang di dekatnya. Cerukan itu cukup aman meski
untuk mandi telanjang bulat. Aku melihat keadaan dan menunggu keadaan
benar-benar aman sambil menikmati surga kecil itu sebentar.

Ternyata keadaan cukup aman. Aku memutuskan membuka semua pakaianku dan
berendam telanjang di salah satu tempat yang cukup dalam. Ahhh nyaman
sekali. Udara yang bersih dan hangatnya sinar matahari. Kolam yang
bening dengan beberapa ikan air tawar berkeliaran di dasar dekat
bebatuan bulat-bulat.

Kudengar krasak-krusuk agak kasar. Lalu kecipak air. Hei! ada pengunjung
lain yang berendam juga... Ya, seorang pemuda seusiaku. Kami bertukar
senyum dan saling menyapa sekadar seperti adat desa umumnya. Namanya
Heru, hmm tubuhnya lumayan kekar dan hitam. Sempat kulirik bagian
bawahnya, masih tidur tapi ah ukurannya lebih besar dariku. Tapi aku
tidak mau berpikiran lebih jauh, takut jadi tegang dan membatalkan puasa.

Di akhir percakapan Heru mengajakku bertaraweh bersama. Dia berjanji
menjemputku nanti. Ah orang yang baik hati.

***

Pertemananku dengan Heru bertambah akrab. Lebaran kedua pagi ini kami
berencana pergi ke air terjun yang jarang dikunjungi karena jauh dan
susahnya perjalanan. Ya, daerah itu tidak terkenal. Tetapi menurut Heru
indahnya tidak kalah dengan air terjun lain yang terkenal secara
nasional. Nama air terjunnya adalah Curug Sewu Banyu.

Banyak fakta yang aku ketahui tentang Heru. Kami bahkan sangat terbuka,
Heru mengatakan kalau dia suka pria dan pernah ml dengan seseorang. Oh
ya ada satu hal, Heru sering mengintip Lik Danu. Waktu kedatanganku,
Heru hendak mengintip Lik Danu tapi dia kaget ketika diintip ternyata
orang lain. Lalu dia terpeleset. Heru pernah bilang kalau suka melihat
aku telanjang. Tapi aku ragu kalau aku akan ml dengan dia. Ah, pembaca
pasti mengerti keraguanku.

Curug Sewu Banyu ditempuh dua jam berjalan kaki. Menurut Heru jalan
setapak lebih sepi dari biasa. Orang-orang desa tidak ke ladang dan
kebanyakan berwisata ke kota atau ke tempat handai taulan di desa lain.
Curug Sewu Banyu sendiri terletak jauh dari lokasi pemukiman desa.
Bahkan ladang pertanian pun tiada di dekat Curug. Keadaannya begitu perawan.

Wow .. wow... wow... wow begitu berkali-kali aku terkagum. Air terjun
itu alami dan sangat indah. Hampir mirip dengan wallpaper yang kupasang
di monitorku. Tapi ini asli dan indah. Airnya banyak bahkan di tengah
musim kemarau begini. Mungkin karena penggundulan hutan belum merambah
mata airnya. Limpasan airnya membentuk butir-butir embun yang membiaskan
warna-warna pelangi. Mungkin inilah tempat mandi bidadari dalam kisah
Jaka Tarub.

Tanpa malu lagi Heru menelanjangi dirinya dan berlari mendekat ke air
terjun. Suasananya jadi asri. Rasanya segar. Aku ikut menelanjangi diri
dan bergabung dengan Heru berdiri dekat-dekat jarum-jarum air yang jatuh
dari atas. Kolam di kaki kami hanya sedalam paha tidak bisa untuk
menyembunyikan kontol kami. Tapi kami tidak berpikir ke sana. Kami
membiarkan semuanya seperti wajarnya. Heru menyipratkan air segar itu ke
tubuhku yang sudah basah. Aku membalasnya. Rasa riang menyelubungi kami.
Kami tertawa terbahak dengan gembira. Kami bebas tanpa ada kehadiran
orang lain satupun di situ.

Rasa janggal dimulai saat aku membenamkan diriku. Entah kenapa tiba-tiba
kontolku menegang tanpa terkendali. Sh*t! Aku merasa tidak enak hati
pada Heru. Namun justru sebaliknya Heru menangkap kejanggalan yang
semakin nyata ini dan kami terdiam. Heru mendekatiku. Mataku tak bisa
kutahan untuk tidak melirik bagian kemaluan Heru. Sh*t! milik Heru sudah
mulai membesar.

"Her!..." kutahan dadanya supaya tubuhnya tidak lebih mendekat. Mata
Heru tajam membuka kunci hatiku. Mulut Heru diam terkatup tapi matanya
bicara banyak, 'Biarkanku memuaskanmu. Aku suka kamu. Aku ingin
mencurahkan sayangku dan nafsuku ini untukmu'. Tatapan itu... membuat
tangan yang menahan dada Heru berubah menarik punggung Heru untuk
mendekat. Kami melakukan ciuman bibir yang sangat lama di bawah Curug
Sewu Banyu. Momen ter*** (tak terdefinisi) selama aku hidup.

Sebentar saja tubuh depan kami sudah saling melekat. Merasakan hangatnya
tubuh yang bersatu. Ya, masih di tengah desau air terjun Curug Sewu
Banyu hanya kami berdua. Tangan bergerayang memijat punggung Heru yang
kekar. Sementara Heru memelukku kencang sampai nafasku terasa sesak.

Aku masih ingat desah nafas kami. Pandangan kami. Seakan kami saling
mencurah jiwa kami supaya dimengerti. Hasrat kami supaya dipuaskan.
Segala keinginan kami untuk ditanggapi. Dengan ciuman yang panjang,
elusan dan gesekan kontol, kami merasa semuanya lengkap. Kami saling
mengerti, memahami, menerima, dan mampu melengkapi yang kurang pada
kami. Ini bukan sekedar memuaskan nafsu sex tapi lebih jauh dari itu.

Tubuh bagian belakangku terasa dingin. Heru mengamitku untuk ke pinggir.
Ah.. tapi saat kulirik kemaluan Heru masih merah berdenyut ke atas.
Tanda dia masih ingin. Kontolku pun begitu. Kami berjalan beriring
melompat bebatuan ke pinggir sungai. Dekat pakaian kami ada satu tempat
yang landai dinaungi sebuah pohon besar yang tak kuketahui namanya.

Heru menghamparkan tikar dari dalam ranselnya. "Hei! Kamu sudah
merencanakan ini semua ya?" tanyaku.

"Ah tidak juga. Hanya sekedar jaga-jaga." Heru tersenyum maniss sekali.

Dia mengerinkan tubuhnya dengan kibasan lalu berbaring di tikar. Aku
melongo.

"Ayo kemarilah!" ajaknya.

Aku ragu, tapi tak tahan melihat Heru yang memainkan kontolnya sendiri
memancingku. Aku duduk di sebelahnya. Heru menarik tanganku supaya
menggenggam kontolnya. Segera akupun mulai mengocok kontol Heru. Ahhh!
Heru melenguh keenakan. Matanya terpejam saat kupandang.

Tanpa mempedulikan bagaimana tanggapan Heru, kuhisap kontol itu. Ahh ini
rasanya menghisap kontol pria seperti di film-film biru yang kadang
kutonton. Ada rasa hangat, kulit bergelambiran, rasa yang aneh. Ah
kalian yang belum pernah, coba rasain sendiri deh! Kuhisap kontol itu,
kulirik kepala Heru yang dilempar ke kanan dan ke kiri. Tangannya
mencoba menahan kepalaku supaya tidak menghisap. Tubuh Heru bergetar.
Pantatnya ikut terangkat mungkin karena keenakan.

Tangan kananku yang menggerayang di dada Heru dipegang erat sehingga tak
bergerak. Tangan kiriku terjepit di antara selakangan saat kurangsang
lubang pantatnya. Satu-satunya jalan melepas keduanya adalah hisapan
agak longgar dengan cepat. Slurrp! jlep! Sluurp jlep! begitu kira-kira
bunyi yang membuat seluruh tubuh Heru kehilangan koordinasi. Tanganku
bebas menjelajah lagi. Namun sejenak kemudian dia tersadar dan mulai
bertahan lagi. Kulakukan oral lagi. Heru terlena. Saat jariku ke
pantatnya dia tersadar dan bertahan lagi. Kejadian itu berlangsung
berkali kali. Hingga akhirnya Heru mengerti dan membiarkan jariku
menembus lobang pantatnya.

Heru pasrah menikmati tiap hisapan mulutku. Bibirnya digigit sendiri
menahan nikmat birahi. Jemari kananku memainkan puting dan terkadang
meremas dadanya. Jemari kiriku sibuk merangsang lubang dubur dan titik g
spot di bawah bola-bola kemaluan. Setelah Heru mampu menyesuaikan diri
dengan birahinya, dia juga tak mau kalah mengonani kontolku yang bebas
tegang.

Sekarang ganti aku terkadang harus berhenti menghisap untuk
mengendalikan birahi. Remasan dan kocokan Heru begitu pas, seperti
mengocok sendiri saja. Terkadang tangan kiri Heru berhenti mengocok
untuk memberi kesempatan pada ibu jarinya memutar-mutar titik pertemuan
kepala dan batang kontol. Rasanya hmmm...

Setelah pipiku terasa agak pegal dan bibirku baal karena terus menerus
mengisap, aku memberanikan diri berganti posisi menindih Heru. Kontol
kami berdua kugenggam erat. Sebetulnya tak terlalu erat karena tak muat
pada satu genggaman tangan. Kukocok kontol kami sambil kumaju mundurkan
pantatku. Posisi tak stabil tapi sepertinya Heru senang karena dia
tersenyum dan merengkuh tubuhku lebih mendekat ketubuhnya.

Kelamaan kontol Heru yang semula licin mulai mengering karena hembusan
angin dan panas tubuh kami berdua. Sekarang gantian keringat di badan
Heru dan badanku melicinkan badan kami. Kubiarkan kontol Heru menggosok
perutku dan kontolku menggosok perut Heru. Licin dan hangat rasanya. Ada
getaran-getaran enak di kepala kontolku. Tiap gesekan menghasilkan satu
getaran sehingga tak ingin rasanya mengakhiri.

"Mau yang lebih enak Rob?" tanya Heru tiba-tiba.

"Apa?"

Heru mendorong tubuhku supaya ke pinggir. Dia sendiri lalu menungging.

"Ayo.." Heru mempersilahkan.

Aku mengerti lalu aku mendekatkan kontolku ke lubang duburnya. Aku
mencoba memasukkannya. Terus terang ini pertama kali aku main anal.
Biasanya paling cuma saling menggesek saja. Ah, ternyata tidak semudah
tayangan di film biru. Lubang itu terasa keras dan sepertinya tidak
mungkin dimasuki, apalagi oleh kontolku. Wajah Heru pun tampak kesakitan
saat aku mencoba menembus lobang berkerut itu.

"Tak usahlah Her..." aku merasa kasihan.

"Ayo coba terus, nanti pasti bisa." Heru memberi semangat.

Aku mencoba lagi. Memang tidak mudah. Kontolku kuludahi seperti di
beberapa cerita yang pernah kubaca. Ujung kepala kontolku tepat
kuletakkan di bagian pusat lubang lalu kutekan dengan perlahan. Heru
menjerit tertahan. Kontolku pun terasa agak sakit terjepit. Aku berhenti
sebentar untuk menahan sakitku. Lalu kulanjut lagi. Yah, paling tidak
sekarang sudah separuh masuk. Masih menurut beberapa cerita, aku harus
berhenti sebentar supaya lubang dubur Heru agak terbiasa.

Menyenangkan melihat punggung Heru yang memerah tercetak pola tikar.
Keringat yang mengkilat di tengguknya. Bisep dan trisepnya yang nampak
seksi karena posisi menunggingnya. Juga pantatnya yang berisi penuh
sedang di tengahnya ada kontolku yang sudah masuk separuh.

Kutarik kontolku sedikit supaya tidak lepas dari lubang sempit itu. Waaa
hh rasanya ... kumasukkan lagi, wuaahhh dua kali ahh! Kutarik lagi enak
sekali rasanya.. kumasukkan lagi, dua kali enak sekali. Semakin sering
semakin enak dan dalam waktu singkat rasanya mau orgasme. Rojokanku
semakin cepat, Heru tampaknya sudah mulai menikmati. Sekarang bukan lagi
separuh yang masuk melainkan sudah hampir semua. Aku senang dengan
bentuk kontolku sendiri saat ditarik keluar dari pantat Heru. Tampak
mengkilat dan kencang sedikit berurat.

"Her.. aku hampir nihh" kataku sedikit bergetar.

Heru tak menjawab. Dia menikmati setiap hempasan kontolku dalam duburnya.

"Her.. sekar....ahhhhh" tak sempat aku menyelesaikan pemberitahuanku.
Maniku menyemprot kencang ke dalam perutnya. Kupeluk punggung Heru erat
untuk menumpahkan segala kenikmatanku. Hampir semenit aku memeluknya.
Lalu tangan kananku meraba bagian kontol Heru... Loh kontolnya sudah
menyusut, ada cairan kental di ujungnya.

"Kau... kapan?" sambil tanganku sedikit mengocok kontolnya.

Heru merebah ke samping. Aku pun tetap menempel di punggungnya. Kontolku
masih di dalam dubur Heru. Kepalanya menengok ke kepalaku. Dia tersenyum
lalu menggigit lemah bibirku.

"Aku suka sekali sama kamu" senyumnya manis sekali.

Kami menyudahi permainan itu dengan mandi bersama di Curug Sewu Banyu
sekali lagi. Kami mandi telanjang di bawah air terjun. Terkadang di
selingi ciuman dan rangkulan. Tapi kami tidak melakukannya lagi.

***

Selesai.